Beberapa akhir ini, aku mencoba kembali menekuni
untuk membaca buku. Buku apa saja yang penting bisa membuka wawasan. Minggu
kemarin aku menyelesaikan Bumi Manusia
karya Pram. Minggu ini buku Arok Dedes
masih dari penulis yang sama. Selain itu aku juga membaca Edensor karya Andrea Hirata. Ini kali kedua aku membaca novel yang
tema besarnya petualangan tersebut. Pertama kali saat aku duduk di bangku SMP.
Sebagian besar aku masih mengingat jalan ceritanya tetapi tetap saja menyelami
kata per kata tak membuatku bosan. Yang ada malahan rasa cintaku semakin memuncak
untuk penulis yang berasal dari Belitong ini.
Novel Edensor ini mengajarkan banyak hal. Salah
satunya berkelanah. Karena dengan berkelana kita bisa melihat banyak hal dan
juga bisa belajar langsung dari pengalaman. Jujur, aku juga ingin menjelajah
dunia. Pergi sejauh mungkin untuk bisa menyaksikan peradaban-peradaban di
seluruh dunia. Tapi kurasa masalah paling klasiklah yang membelengguku. Aku seorang
perempuan. Perempuan dengan daya tahan fisik yang jika diguyur hujan akan
langsung jatuh sakit. Inilah yang dinamakan paradoks.
Bicara tentang berkelana pengalaman yang paling
berharga yang kumiliki adalah saat naik bukit Andong. Untuk ukuran orang yang
selalu menghabiskan akhir pekannya dengan menonton drama, membaca buku atau
mewarnai, mendaki gunung adalah suatu hal yang mustahil. Tapi toh aku melakukannya.
Tidak ada rencana. Jika direncanakan pasti selalu gagal. Jadi saat teman
mengajak ayo naik gunung. Aku langsung mengangguk dan besoknya kami berangkat.
Udah gitu aja.
Gunung Andong |
Gunung Andong terletak di Magelang dengan ketinggian
1726 di atas permukaan laut. Kami berangkat dari Semarang pukul setengah
sembilan malam, sampai di tempat peristirahatan jam setengah sebelas malam.
Setelah sholat isya dan duduk-duduk sebentar, kami memulai perjalanan. Aku
ingat betul bagaimana rasanya mendaki untuk pertama kali, baru lima menit
berjalan, nafasku sudah ngos-ngosan, tenggorokan terasa panas, perutku sakit,
kakiku seperti enggan berjalan. Ini hal yang akan kau dapatkan ketika terlalu
malas berolahraga. Untungnya seminggu sebelumnya aku pergi ke Gedung Songo,
jadi aku anggap itu sebagai pemanasan.
Perjalanan sampai ke puncak memakan waktu dua jam lebih.
Sebenarnya itu waktu bisa dipersingkat kalau yang mendaki semuanya laki-laki. Tahu
sendirikan kecepatan perempuan? Baru sepuluh menit berjalan minta istirahat. Jadinya
seperti itu. Kami berjalan menyusuri lereng gunung yang gelap. Penerangan berasal
dari lampu senter yang kami bawa dan dari cahaya bulan. Kami berjalan dalam
diam merasakan angin malam yang segar memenuhi paru-paru kami.
Sekitar jam dua lebih kami sudah tiba di puncak.
Beberapa teman laki-laki memasang tenda. Dan dengan tidak tahu dirinya aku,
bukannya membantu malah menjadi pengamat di atas gunung. Suhu udara turun
drastis dan tubuhku menggigil kedinginan. Setelah tenda selesai di pasang kami
memasuki tenda dan mencoba untuk tidur sebelum fajar menyingsing. Rencanya kami
akan berburu matahari terbit. Melihatnya magisnya sinar matahari pagi yang
indah.
Tapi aku tetap saja aku. Setelah melihat matahari
dan berfoto ala kadarnya, aku memilih kembali masuk ke tenda dan melajutkan
tidurku. Semua teman-temanku mengatakan apa gunanya pergi jauh-jauh kalau
ujung-ujungnya cuma pindah tempat tidur dari kosan ke gunung. Mereka sibuk
menjelajah, berfoto, main gitar, memasak dan aku mengarungi dunia mimpi yang
indah.
Dengan semua yang kulakukan itu aku masih saja tetap
ingin berkelana kemana-mana. Di dalam novel Edensor
ada kutipan yang sangat kusukai. Begini kutipannya:
Aku ingin hidup
mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya
dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman
lalu terjan bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat
disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi
satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga,
menyerap, mengikat mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang
mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan
orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang
gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar
matahari, limbung dihantam angin, dan mencium dicengkram dingin. Aku ingin
kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin
merasakan sari pati hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar