Jumat, 13 Mei 2016

Berkelanah ke Gunung Andong dan Edensor


Beberapa akhir ini, aku mencoba kembali menekuni untuk membaca buku. Buku apa saja yang penting bisa membuka wawasan. Minggu kemarin aku menyelesaikan Bumi Manusia karya Pram. Minggu ini buku Arok Dedes masih dari penulis yang sama. Selain itu aku juga membaca Edensor karya Andrea Hirata. Ini kali kedua aku membaca novel yang tema besarnya petualangan tersebut. Pertama kali saat aku duduk di bangku SMP. Sebagian besar aku masih mengingat jalan ceritanya tetapi tetap saja menyelami kata per kata tak membuatku bosan. Yang ada malahan rasa cintaku semakin memuncak untuk penulis yang berasal dari Belitong ini.
Novel Edensor ini mengajarkan banyak hal. Salah satunya berkelanah. Karena dengan berkelana kita bisa melihat banyak hal dan juga bisa belajar langsung dari pengalaman. Jujur, aku juga ingin menjelajah dunia. Pergi sejauh mungkin untuk bisa menyaksikan peradaban-peradaban di seluruh dunia. Tapi kurasa masalah paling klasiklah yang membelengguku. Aku seorang perempuan. Perempuan dengan daya tahan fisik yang jika diguyur hujan akan langsung jatuh sakit. Inilah yang dinamakan paradoks.
Bicara tentang berkelana pengalaman yang paling berharga yang kumiliki adalah saat naik bukit Andong. Untuk ukuran orang yang selalu menghabiskan akhir pekannya dengan menonton drama, membaca buku atau mewarnai, mendaki gunung adalah suatu hal yang mustahil. Tapi toh aku melakukannya. Tidak ada rencana. Jika direncanakan pasti selalu gagal. Jadi saat teman mengajak ayo naik gunung. Aku langsung mengangguk dan besoknya kami berangkat. Udah gitu aja.
Gunung Andong
Gunung Andong terletak di Magelang dengan ketinggian 1726 di atas permukaan laut. Kami berangkat dari Semarang pukul setengah sembilan malam, sampai di tempat peristirahatan jam setengah sebelas malam. Setelah sholat isya dan duduk-duduk sebentar, kami memulai perjalanan. Aku ingat betul bagaimana rasanya mendaki untuk pertama kali, baru lima menit berjalan, nafasku sudah ngos-ngosan, tenggorokan terasa panas, perutku sakit, kakiku seperti enggan berjalan. Ini hal yang akan kau dapatkan ketika terlalu malas berolahraga. Untungnya seminggu sebelumnya aku pergi ke Gedung Songo, jadi aku anggap itu sebagai pemanasan.
Perjalanan sampai ke puncak memakan waktu dua jam lebih. Sebenarnya itu waktu bisa dipersingkat kalau yang mendaki semuanya laki-laki. Tahu sendirikan kecepatan perempuan? Baru sepuluh menit berjalan minta istirahat. Jadinya seperti itu. Kami berjalan menyusuri lereng gunung yang gelap. Penerangan berasal dari lampu senter yang kami bawa dan dari cahaya bulan. Kami berjalan dalam diam merasakan angin malam yang segar memenuhi paru-paru kami.
Sekitar jam dua lebih kami sudah tiba di puncak. Beberapa teman laki-laki memasang tenda. Dan dengan tidak tahu dirinya aku, bukannya membantu malah menjadi pengamat di atas gunung. Suhu udara turun drastis dan tubuhku menggigil kedinginan. Setelah tenda selesai di pasang kami memasuki tenda dan mencoba untuk tidur sebelum fajar menyingsing. Rencanya kami akan berburu matahari terbit. Melihatnya magisnya sinar matahari pagi yang indah.
Tapi aku tetap saja aku. Setelah melihat matahari dan berfoto ala kadarnya, aku memilih kembali masuk ke tenda dan melajutkan tidurku. Semua teman-temanku mengatakan apa gunanya pergi jauh-jauh kalau ujung-ujungnya cuma pindah tempat tidur dari kosan ke gunung. Mereka sibuk menjelajah, berfoto, main gitar, memasak dan aku mengarungi dunia mimpi yang indah.
Dengan semua yang kulakukan itu aku masih saja tetap ingin berkelana kemana-mana. Di dalam novel Edensor ada kutipan yang sangat kusukai. Begini kutipannya:    
Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjan bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan mencium dicengkram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup.

Ya aku ingin hidup.